Breaking News
Loading...
Sabtu, 26 Maret 2016

Info Post
Koperasi Pakarti Maju.

Koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat ternyata mampu mencapai kelas dunia sejalan dengan globalisasi. Setidaknya, terdapat 300 koperasi global yang mampu menciptakan penjualan dan aset miliaran dollar dan menjadi korporasi global. Keberhasilan koperasi global didukung oleh penerapan prinsip-prinsip koperasi secara tepat dan kaedah bisnis modern.

Koperasi Indonesia masih jauh dari kategori kelas dunia, namun potensial menjadi kelas dunia sepanjang perubahan mindset terjadi baik dari sisi pemerintahan maupun dari sisi koperasi untuk memanfaatkan peluang perubahan tatanan ekonomi, seperti pembentukan AEC dan perdagangan bebas.

sebagai lembaga keuangan rakyat. Pada tahun 2012 sebagai “tahun koperasi internasional” merupakan kesempatan menunjukkan pada level global bahwa model koperasi memberikan kontribusi besar pada perekonomian dan kehidupan sosial.

Tahun 2010 merupakan masa terjadinya pemulihan ekonomi dari krisis dengan ekspansi 148 negara sebesar $5.3 triliun dengan kontributor terbesar adalah China (17%), AS (10%), Brazil (9%), Jepang (8%), dan India (5%). Sedangkan kontraksi ekonomi terbesar terjadi pada negara-negara Perancis (22%), Italia (18%), Spanyol (17%), Venezuela (10%), dan Jerman (7%).

China dengan kemampuan penetrasi globalnya mampu menumpuk cadangan devisanya lebih dari US $1.5 triliun. Setelah tahun 2010, imbas krisis Eropa akan terasa di Indonesia. Selama semester I tahun 2012, nilai tukar rupiah melemah dan neraca perdagangan semakin defisit.

Format kenegaraan RI dalam urusan pembangunan koperasi, seyogianya mampu membawa koperasi menjadi koperasi global dengan skala usaha besar. Faktanya, sampai saat ini belum ada satupun koperasi Indonesia yang mengglobal.

Berdasarkan statistik, pada tahun 2011, jumlah koperasi Indonesia telah mencapai lebih dari 188 ribu unit dengan anggota sebanyak lebih dari 30 juta orang. Sebanyak 30% dari jumlah koperasi tersebut adalah koperasi tidak aktif. Total volume usaha (penjualan atau omzet) dari semua koperasi Indonesia tahun 2011 hanya Rp95.06 triliun dengan aset Rp75.48 triliun. 

Dengan nilai ekonomi itu, rata-rata penjualan per koperasi pada tahun 2011 adalah sebesar Rp71.12 juta dan aset per koperasi Rp447.98 juta. Angka ini bila dibandingkan dengan penjualan the 300 Global Cooperative sangat rendah, artinya sangat sulit bagi koperasi Indonesia untuk menembus skala koperasi global.

Keberadaan koperasi Indonesia dewasa ini didukung oleh kehadiran sebanyak 69,748 koperasi dalam bisnis jasa keuangan dengan aset Rp23.06 triliun dan volume usaha sebesar Rp30.00 triliun mencakup 6.58 juta anggota. Keterlibatan pemerintah yang sangat besar dalam pembangunan koperasi menjadikan koperasi sebagai instrumen pelaksanaan dari program pemerintah. Misalnya, kompensasi naiknya harga BBM disalurkan melalui koperasi. Bantuan sosial dalam bentuk penyaluran dana langsung ke koperasi salah satu bentuk politisasi anggaran pemerintah.

Klaim keberhasilan pembangunan koperasi oleh pemerintah akhirnya menjadi pertanyaan karena jumlah orang miskin Indonesia pada tahun 2011 masih sangat banyak, yakni 32 juta orang. Kaitan keanggotaan koperasi dan tingkat kemiskinan daerah juga rendah, probabilitas keterkaitannya hanya 15.15% (Situmorang, 2011).

Apakah jumlah anggota koperasi sebanyak 30 juta orang itu merupakan anak-gugus dari jumlah orang miskin sebanyak 32 juta orang, masih perlu pembuktian empirikal. Di samping itu, bisnis koperasi belum signifikan mampu mengangkat koperasi sebagai korporasi. Harapan tampaknya ada pada koperasi di sektor jasa keuangan yang secara nyata muncul sebagai kekuatan baru dalam sistem keuangan mikro Indonesia.

Secara kuantitas, perkembangan bisnis koperasi di Indonesia termasuk kategori rendah. Pertumbuhan perkoperasian selama tahun 2004 – 2011 baik jumlah koperasi maupun anggota, hampir konstan, yakni sekitar 5% dan 2%. Sedangkan perkembangan ekonomi yang ditunjukkan aset dan volume usaha hampir sama, yakni masing-masing 14.76% dan 15.49%.

Pertumbuhan ini adalah pertumbuhan nominal. Bila dikoreksi dengan tingkat inflasi maka pertumbuhan ekonomi rilnya lebih rendah lagi. Perkembangan koperasi memang menghadapi tantangan yang tinggi dan kelemahan internal yang juga cukup tinggi. Sinaga dkk (2006) menggambarkannya seolah berlayar dalam sejuta tantangan di tengah lingkungan yang berubah. Birokrasi yang semestinya menciptakan sistem yang efisien, sepertinya menyumbang ketidak-efisienan.

Sebelum dan setelah reformasi, format birokrasi yang mengurusi pembangunan koperasi belum sepenuhnya sesuai (Sijabat, 2010; Effendi dan Subandi, 2010; Situmorang, 2012). Bahwa bisnis koperasi sudah jalan “ya” tetapi orientasi bisnis belum internasional. Dengan kata lain “mindset” menjadi kendala utama koperasi menjadi koperasi besar berskala global.
Gambaran koperasi yang dianggap sudah masuk dalam skala besar dapat terlihat di Jawa Tengah yang termasuk daerah yang koperasinya banyak dan berperan secara lokal. Dengan mengambil sampel sebanyak 35 koperasi, Tabel 3 menampilkan apa itu koperasi yang berskala besar.

Jumlah anggota rata-rata per koperasi adalah 8,550 orang yang berada di antara jumlah minimal 21 orang sampai maksimal 52,089 orang. Jumlah anggota ini cukup tinggi dan sesuai dengan harapan bahwa koperasi adalah kumpulan orang, bukan kumpulan modal. Dengan keanggotaan itu, aset koperasi skala besar di Jawa Tengah rata-rata per koperasi adalah Rp161.11 miliar dan menciptakan penjualan rata-rata sebesar Rp162.42 miliar. Ciri-ciri koperasi ini adalah perputaran bisnis yang masih rendah, budaya organisasi bisnis yang belum mapan, kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, dan orientasi paling jauh pada pasar regional.

Menyadari pentingnya koperasi berskala besar, pemerintah RI, khususnya Kementerian KUKM meluncurkan ide dan program Koperasi Skala Besar (KSB) pada tahun 2010. Program KSB dimunculkan dengan alasan bahwa koperasi tidak selalu identik dengan urusan bisnis skala kecil, tradisional, dan lokal.

Koperasi juga bisa menjadi korporasi raksasa, modern, dan internasional. Untuk itu, pemerintah mengarahkan agar terbentuk sedikitnya 99 koperasi yang berkualifikasi skala besar pada tahun 2010. Hasil dari program KSB ini masih belum nyata terlihat, kecuali adanya sosialisasi yang semakin menyadarkan para pelaku koperasi akan pentingnya mengubah wawasan koperasi menuju koperasi kelas dunia.

Dengan berlakunya perjanjian bilateral dan multilateral, khususnya menyangkut Free Trade Area (FTA) antara Indonesia dan negara lain, termasuk ASEAN China FTA (ACFTA) dan juga AEC, akan terjadi integrasi pasar dan terbuka peluang besar dalam bisnis interregional menuju global. Menurut teori perdagangan internasional, integrasi pasar akan memunculkan “trade creation”, dimana setiap negara akan sama-sama memperoleh manfaat dari integrasi pasar. The ASEAN Charter memastikan berdirinya AEC pada tahun 2015 yang akan membentuk komunitas politik dan keamanan ASEAN, komunitas ekonomi ASEAN (AEC), dan komunitas sosial budaya ASEAN.

AEC terdiri dari empat pilar, yakni single market and production base (pasar tunggal dan basis produksi), competitive economic region (kawasan ekonomi berdaya saing tinggi), equitable economic development (pembangunan ekonomi yang merata), danintegration into global economy (integrasi ke dalam ekonomi global). Menurut Amri (2012) bahwa total PDB negara ASEAN-10 dalam AEC mencapai US $1532.20 miliar atau Rp13,789.80 triliun dengan total populasi sebanyak 591,15 juta orang.

Pada tahun 2010, total perdagangan dalam ASEAN mencapai US $519.81 miliar dengan pertumbuhannya 38.2%. Total perdagangan ke luar ASEAN mencapai US $1,525.93 miliar dengan pertumbuhannya 31.5%. Aliran FDI (Foreign Direct Investment) dalam ASEAN mencapai US $12.28 miliar sementara dunia sebesar US $63.93 miliar.

Pelaku bisnis harus berpacu untuk merebut pangsa pasar regional. Posisi koperasi dan UKM dalam merebut pasar AEC sangat penting karena pilar equitable economy development mengharuskan pengembangan UKM. Semestinya Indonesia bisa menjadi negara unggulan dalam ekonomi dan politik mengingat posisi Indonesia yang sangat strategis.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat dunia, wilayah sangat luas dengan sumberdaya alam yang banyak, dengan 20 negara terbesar PDB, Indonesia harus mampu menempatkan koperasinya sebagai pelaku bisnis global, setidaknya pada level Asia. Sayangnya, sampai saat ini posisi Indonesia dalam persaingan global masih rendah, hanya unggul atas Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Percepatan reformasi birokrasi dan perubahan “mindset” merupakan salah satu syarat mutlak untuk mendorong koperasi menjadi korporasi kelas dunia sejalan dengan perjanjian bilateral dan multilateral. Kementerian KUKM sebagai pengemban birokrasi utama pembangunan koperasi hendaknya mampu berubah (transformasi) mengikuti perubahan yang terjadi secara domestik dan global agar menjadi lembaga pelayanan di tingkat pusat dan daerah.


Sesungguhnya Kementerian KUKM dapat meniru format kementerian di Jepang yang mengutamakan partisipasi semua pihak dalam pembangunan UKM-nya sehingga UKM-nya mampu menjadi aktor utama dalam sistem industri pendukung, sebagaimana juga China yang sangat dominan dalam produk ekspor global dengan mengandalkan UKM .
Sumberhttp://peuyeumcipatat.blogspot.co.id/2013/09/koperasi-sebagai-alat-perjuangan.html

0 komentar:

Posting Komentar